1. Pendahuluan
Kata asuransi berasal dari bahasa Inggris, insurance, yang dalam bahasa Indonesia telah menjadi bahasa populer dan diadopsi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan padanan kata “pertanggungan”. Echols dan Shadilly memaknai kata insurance dengan (a) asuransi, dan (b) jaminan. Dalam bahasa Belanda biasa disebut dengan istilah assurantie (asuransi) dan verzekering (pertanggungan).
Mengenai definisi asuransi secara baku dapat dilacak dari peraturan (perundang-undangan) dan beberapa buku yang berkaitan dengan asuransi, seperti yang kami cantumkan bawah ini:
Muhammad Muslehuddin dalam bukunya Insurance and Islamic Law mengadopsi pengertian asuransi dari Encyclopaedia Britanica yaitu sebagai suatu persediaan yang disiapkan oleh sekelompok orang, yang dapat tertimpa kerugian, guna menghadapi kejadian yang tidak dapat diramalkan, sehingga bila kerugian tersebut menimpa salah seorang di antara mereka maka beban kerugian tersebut akan disebarkan ke seluruh kelompok.
Lebih jauh Muslehuddin menjelaskan pengertian asuransi dalam sudut pandang yang berbeda, serta mengalami kesimpangsiuran. Ada yang mendefinisikan asuransi sebagai perangkat untuk menghadapi kerugian, dan ada pula yang mengatakannya sebagai persiapan menghadapi risiko. Dilihat dari signifikansi kerugian, Adam Smith berpendapat bahwa dengan menyebarkan beban kerugian kepada orang banyak, asuransi membuat kerugian menjadi ringan dan mudah bagi seluruh masyarakat.
Dalam Ensiklopedi Hukum Islam disebutkan bahwa asuransi (Ar: at-ta’min) adalah “transaksi perjanjian antara dua pihak; pihak yang satu berkewajiban membayar iuran dan pihak yang lain berkewajiban memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran jika terjadi sesuatu yang menimpa pihak pertama sesuai dengan perjanjian yang dibuat.”
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) pasal 246 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan asuransi atau pertanggungan adalah “suatu perjanjian (timbal balik), dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya, karena suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya, karena suatu peristiwa tak tentu (onzeker vooral).”
Sedangkan pengertian asuransi syari’ah atau yang lebih dikenal dengan ta’min, takaful, atau tadhamun adalah “usaha saling melindungi dan tolong menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui inventasi dalam bentuk aset dan atau tabarru memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad yang sesuai dengan syari’ah.”
Dari definisi asuransi syari’ah di atas sudah jelas bahwa pertama, asuransi syari’ah berbeda dengan asuransi konvensional. Pada asuransi syari’ah setiap peserta sejak awal bermaksud saling menolong dan melindungi satu dengan yang lain dengan menyisihkan dananya sebagai iuran kebajikan yang disebut tabarru. Jadi sistem ini tidak menggunakan pengalihan resiko (risk tranfer) di mana tertanggung harus membayar premi, tetapi lebih merupakan pembagian resiko (risk sharing) di mana para peserta saling menanggung. Kedua, akad yang digunakan dalam asuransi syari’ah harus selaras dengan hukum Islam (syari’ah), artinya akad yang dilakukan harus terhindar dari riba, gharar (ketidak jelasan dana), dan maisir (gambling), di samping itu investasi dana harus pada obyek yang halal-thoyyibah.

2. Nilai Filosofis Asuransi Syariah
Bangunan yang membentuk adanya asuransi syariah didasarkan pada prinsip dasar dari nilai yang berlaku pada diri manusia. Manusia terlahir dibekali dengan dua kekuatan, yaitu kekuatan pembentuk yang berasal dari Tuhan (ruh) yang cenderung berbuat baik dan kekuatan pembentuk yang berasal dari materi (unsur tanah). Nilai tersebut merupakan pembawaan manusia sejak lahir yang bersifat alami (nature) yang terikat oleh aturan-aturan yang berasal dari Allah Swt. (sunnah Allah). Dengan berbekal kedua kekuatan tersebut, manusia dituntut untuk membaca segala norma atau aturan-aturan Tuhan yang ada di alam semesta, sehingga segala gerak yang dilakukan manusia tertuju pada ketentuan yang digariskan oleh-Nya.
Allah menciptakan manusia di muka bumi sebagai khalifah (wakil Allah) yang bertugas untuk memakmurkan kehidupan di muka bumi. Firman Allah Swt. dalam QS. al-Baqarah [2]:30
وَإِذْقَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَئِكَةِ إِنِّى جَاعِلٌ فِي اْلأَرْضِ خَلِيْفَةً...[البقرة:30]
Arinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi…” (QS. Al-Baqarah [2]: 30]
Tugas tersebut merupakan beban yang berat bagi seorang manusia. Karena statusnya sebagai wakil Allah (khalifah), manusia dituntut untuk memberikan kemakmuran dan ketentraman di alam semesta, bukan sebaliknya seperti yang diprediksikan (dikhawatirkan) oleh malaikat sebagai makhluk yang membawa bencana atau malapetaka di atas permukaan bumi.
Kemakmuran di muka bumi dapat diwujudkan oleh manusia, jika dan hanya jika manusia tersebut mampu memahami dan memposisikan keberadaannya pada aturan atau hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Khalik-nya, Allah Swt. Adapun salah satu sunnah Allah yang berlaku pada diri manusia adalah eksistensinya yang lemah dan ketidaktahuannya terhadap kejadian yang akan menimpa pada dirinya. Hanya Allah-lah Dzat Yang Maha Perkasa dan Maha Mengetahui atas segala sesuatu yang terjadi di alam semesta, baik yang sudah terjadi ataupun yang belum terjadi.
Sebagai makhluk yang lemah, manusia harus senantiasa sadar bahwa keberadaannya tidak akan mampu hidup sendiri tanpa bantuan orang lain atau sesamanya. Solusinya adalah firman Allah Swt. dalam QS. al-Maidah [5]: 2
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوْا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيْدُ الْعِقَاِب.[المائدة:2]

Artinya: “...Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”. (QS. al-Maidah [5]: 2)

Dengan ayat ini kita dapat menafsirkan bahwa, manusia dituntun oleh Allah Swt. agar selalu berbuat tolong-menolong (ta’awun) antar sesamanya dalam kebaikan dan didasari atas nilai takwa kepada Allah Swt. Hal ini merupakan satu prinsip dasar yang harus dipegangi manusia dalam menjalani kehidupannya di atas permukaan bumi ini. Dengan saling melakukan tolong-menolong (ta’awun), manusia telah menjalankan satu fitrah dasar yang diberikan Allah Swt. kepadanya. Prinsip dasar inilah yang menjadi salah satu nilai filosofi dari berlakunya asuransi syariah.
Di sisi lain manusia mempunyai sifat lemah dalam menghadapi kejadian yang akan datang. Sifat lemah tersebut berbentuk ketidak-tahuannya terhadap kejadian yang akan menimpa pada dirinya. Manusia tidak dapat memastikan bagaimana keadaannya pada waktu di kemudian hari (future time). Firman Allah Swt. telah ditegaskan dalam QS. al-Taghaabun [64]:11 dan QS. Luqman [31]:34:
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيْبَةٍ إِلاَّ بِإِذْنِ اللهِ...[التغابن: 11]

Artinya: “Tidak ada sesuatu musibahpun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah…” (QS. Al-Taghaabun [64]: 11)

إِنَّ اللهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيُعَلِّمُ مَا فِي اْلأَرْحاَمِ وَماَ تَدْرِى نَفْسٌ ماَذَا تَكْسِبُ غَداً وَماَ تَدْرِى نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوْتُ إِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ خَبْيْرٌ.[لقمان: 34]

Artinya: “Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tidak seorangpun yang dapa mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok; dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana ia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Luqman [31]: 34)
Apakah hari esok dia (manusia) masih dalam keadaan sehat wal-afiat dan masih dapat melihat terbitnya matahari di sebelah timur atau apakah harta kekayaannya masih dalam keadaan aman dan tidak akan mengalami kehancuran atau terkena kebakaran?
Sebuah pertanyaan yang tidak akan dapat dipastikan jawabannya oleh manusia, karena kemampuan dasar yang dimiliki oleh manusia tidak dapat menjangkau hal-hal yang belum terjadi. Allah Swt. tidak memberikan kemampuan tersebut kepada manusia. Kemampuan yang diberikan kepada manusia hanya sebatas memprediksikan dan merencanakan (planning) sesuatu yang belum terjadi serta memproteksi segala sesuatu yang dirasa akan memberikan kerugian di masa mendatang.
Suatu yang telah menjadi ketetapan-Nya adalah ajal (kematian) yang akan dialami oleh setiap manusia. Firman Allah Swt. QS. Ali Imran [3]: 145 dan 185:
وَماَ كاَنَ لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوْتَ إِلاَّ بِإِذْنِ اللهِ كِتاَباً مُؤَجَّلاً...[أل عمران: 145]

Artinya: ”Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang tertentu waktunya.” (QS. Ali Imran [3]: 145)

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ. [أل عمران: 185]

Artinya: “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati…” (QS. Ali Imran [3]: 185)
Dalam hal ini manusia ditugaskan hanya mengatur bagaimana cara mengelola kehidupannya agar mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat (sa’adah al-daraini), seperti firman Allah Swt. dalam QS. al-Baqarah [2]: 201. Adapun salah satu caranya adalah dengan menyiapkan bekal (proteksi) untuk kepentingan di masa datang agar segala sesuatu yang bernilai negatif, baik dalam bentuk musibah, kecelakaan, kebakaran ataupun kematian, dapat diminimalisir kerugiannya. Hal semacam ini telah dicontohkan oleh Nabi Yusuf secara jelas dalam menakwilkan mimpi Raja Mesir tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus. Firman Allah Swt. dalam QS. Yusuf [12]: 46-49
يُوْسُفُ أَيُّهاَ الصِّدِّيْقُ أَفْتِنَا فِي سَبْعِ بَقَرَاتٍ سِماَنٍ يَأْكُلُهُنَّ سَبْعٌ عِجَافٌ وَّسَبْعِ سُنْبُلاَتٍ خُضْرٍ وَّأُخَرَ يَبِساَتٍ لَّعَلِّي أَرْجِعُ إِلَى النَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَعْلَمُوْنَ. قَاَل تَزْرَعُوْنَ سَبْعَ سِنِيْنَ دَأَبًا فَمَا حَصَدْتُمْ فَذَرُوْهُ فِي سَبِيْلِهِ إِلاَّ قَلِيْلاً مَا تَأْكُلُوْنَ. ثُمَّ يَأْتِيْ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ سَبْعٌ شِدَادٌ يَأْكُلْنَ مَا قَدَّمْتُمْ لَهُنَّ إِلاَّ قَلِيْلاً مِمَّا تُحْسِنُوْنَ. ثُمَّ يَأْتِي مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ عَاٌم فِيْهِ يُغَاثُ النَّاسُ وَفِيْهِ يَعْصِرُوْنَ. [يوسف: 46-49]
Artinya: “(Setelah pelayan iu berjumpa dengan Yusuf dia berseru): “Yusuf, hai orang yang amat dipercaya, terangkanlah kepada kami tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk yang dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan (tujuh) lainnya yang kering agar aku kembali kepada orang-orang itu, agar mereka mengetahuinya”.Yusuf berkata: “Supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa; maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan. Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan. Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan (dengan cukup) dan di masa itu mereka memeras anggur). (QS. Yusuf [12]: 46-49)

Ayat di atas memberikan pelajaran berharga bagi manusia pada saat ini, yang secara ekonomi dituntun agar mengadakan persiapan secara matang untuk menghadapi masa-masa yang sulit jikalau menimpanya pada waktu yang akan datang. Praktek asuransi ataupun bisnis pertanggungan dewasa ini telah mengadopsi semangat yang timbul dari nilai-nilai yang telah berkembang sejak zaman dahulu dan ada bersamaan dengan kehadiran manusia. Paling tidak terekam melalui cerita Nabi Yusuf di atas dan penjelasan dalam al-Qur’an atau sunnah Nabi Muhammad Saw.
Jadi, prinsip dasar inilah yang menjadi tolok ukur dari nilai filosofi asuransi syariah yang berkembang pada saat ini. Yaitu dalam bentuk semangat tolong-menolong, bekerjasama dan proteksi terhadap peril (peristiwa yang membawa kerugian).

3. Sejarah Perkembangan Pemikiran Asuransi Syariah
Kajian asuransi dalam hukum Islam merupakan hal yang baru, dan belum pernah ditemukan dalam literatur-literatur fiqh klasik. Pembahasan asuransi dalam wilayah kajian ilmu-ilmu keislaman baru muncul pada fase lahirnya ulama kontemporer (Hasan: 2004). Tercatat dalam literatur sederetan nama yang menekuni kajian asuransi diantaranya adalah, Ibnu Abidin (1784-1836), Muhammad Nejatullah al-Siddiqi, Muhammmad Muslehuddin, Fazlur Rahman, Mannan, Yusuf al-Qardhawi, Mohd. Ma’shum Billah, merupakan deretan nama ulama ternama yang hidup di era abad modern. Di sisi lain, kajian tentang asuransi merupakan sebuah paket dari kajian ekonomi Islam yang biasanya selalu dikaji bersama-sama dengan pembahasan perbankan dalam Islam. Jadi, asuransi Islam atau asuransi syari’ah merupakan hasil pemikiran ulama kontemporer.
Secara prinsipil kajian ekonomi Islam selalu mengedepankan azas keadilan, tolong menolong, menghindari kedzaliman, pengharaman riba (bunga), prinsip profit and loss sharing serta penghilangan unsur gharar (Syafi'i: 1994, 147) . Maka dari sini, bisa ditarik garis pararel terhadap prinsip-prinsip yang harus ada dalam sebuah institusi asuransi syari’ah. Sebab, asuransi syari’ah secara teoritik masih menginduk kepada kajian ekonomi Islam secara umum. Di samping prinsip dasar di atas yang harus dipenuhi oleh lembaga asuransi syari’ah, asuransi syari’ah juga harus mengembangkan sebuah manajemen asuransi secara mandiri, terpadu, profesional serta tidak menyalahi aturan dasar yang telah digariskan dalam syari’ah Islam. Untuk tujuan menjaga agar selalu sesuai dengan syari’at Islam maka pada setiap asuransi harus ada Dewan pengawas syari’ah (DPS).
Di sinilah ulama kontemporer bermain dalam menggali dan menyusun sebuah kinerja dan manajemen asuransi syari’ah. Mengutip pernyataan Nejatullah al-Siddiqi, bahwa asuransi syari’ah harus membawa unsur tolong-menolong, seperti apa yang terjadi di awal sejarah asuransi yang menjadikan prinsip tolong-menolong sebagai unsur utama di dalamnya. Dari sini, asuransi syariah mengemban tugas agar melakukan pembersihan unsur-unsur yang tidak sesuai dengan syari’ah terhadap praktek yang dijalankan oleh asuransi konvensional. Nilai-nilai seperti materialistis, individualistis, kapitalis, harus dihapuskan, sebagai gantinya dimasukkan semangat keadilan, kerjasama, dan saling tolong-menolong.
Lebih jauh, Muhammad Ma’shum Billah mengajukan sebuah konsep yang diberi nama dengan takaful. Sebuah konsep asuransi syari’ah yang di dalamnya dilakukan kerja sama dengan para peserta takaful (pemegang polis asuransi) atas prinsip al-mudharabah. Perusahaan asuransi syariah bertindak sebagai al-mudharib yang menerima uang pembayaran dari peserta takaful untuk diadministrasikan dan diinvestasikan sesuai dengan ketentuan syari’ah. Peserta takaful bertindak sebagai shahib al-mal yang akan mendapat manfaat jasa perlindungan serta bagi hasil dari keuntungan perusahaan asuransi syariah. Konsep takaful pada dasarnya merupakan usaha kerja sama saling melindungi dan menolong antara anggota masyarakat dalam menghadapi malapetaka atau bencana.

4. Pertumbuhan dan Perkembangan Asuransi syari’ah di Indonesia
Asuransi syariah di Indonesia merupakan sebuah cita-cita yang telah dibangun sejak lama, dan telah menjadi sebuah lembaga asuransi modern yang siap melayani umat Islam Indonesia dan bersaing dengan lembaga asuransi konvensional. Dalam asuransi syariah terdapat dua jenis perlindungan takaful. Pertama, takaful keluarga, yaitu bentuk takaful yang memberikan perlindungan finansial dalam menghadapi malapetaka kematian dan kecelakaan atas diri peserta takaful. Adapun produk takaful keluarga meliputi; takaful berencana, takaful pembiayaan, takaful pendidikan, takaful dana haji, takaful berjangka, takaful kecelakaan siswa, takaful kecelakaan diri, dan takaful khairat keluarga. Kedua, takaful umum, adalah bentuk takaful yang memberikan perlindungan finansial dalam menghadapi bencana atau kecelakaan atas harta benda milik peserta takaful, seperti; rumah, bangunan, dan sebagainya. Produk takaful umum meliputi; takaful kebakaran, takaful kendaraan bermotor, takaful pengangkutan laut, takaful rekayasa.
Adapun perkembangan asuransi syariah di Indonesia baru ada pada paruh akhir tahun 1994. yaitu dengan berdirinya Asuransi Takaful Indonesia pada tanggal 25 Agustus 1994, dengan diresmikannya PT Asuransi Takaful Keluarga melalui SK Menkeu No. Kep-385/KMK.017/1994. Pendirian Asuransi Takaful Indonesia diprakarsai oleh Tim Pembentuk Asuransi Takaful Indonesia (TEPATI) yang dipelopori oleh ICMI melalui Yayasan Abdi Bangsa, Bank Muamalat Indonesia, Asuransi Jiwa Tugu Mandiri, Pejabat dari Departemen Keuangan, dan Pengusaha Muslim Indonesia.
Melalui berbagai seminar nasional dan setelah mengadakan studi banding dengan Takaful Malaysia, akhirnya berdirilah PT Syarikat Takaful Indonesia (PT STI) sebagai Holding Company pada tanggal 24 Februari 1994. Kemudian PT STI mendirikan 2 anak perusahaan, yakni PT Asuransi Takaful Keluarga (Life Insurance) dan PT Asuransi Takaful Umum (General Insurance). PT Asuransi Takaful Keluarga diresmikan lebih awal pada tanggal 25 Agustus 1994 oleh Bapak Mar’ie Muhammad selaku Menteri Keuangan saat itu. Setelah keluarnya izin operasional perusahaan pada tanggal 4 Agustus 1994.
Maka setelah itu, beberapa perusahaan asuransi syariah yang lain lahir, seperti PT. asuransi syari’ah “Mubarakah” (1997) dan beberapa unit asuransi syari’ah dari asuransi konvensional seperti MAA Assurance (2000), Asuransi Great Eastern (2001), Asuransi Bumi Putra (2003), Asuransi Beringin Jiwa Sejahtera (2003), Asuransi Tripakarta (2002), Asuransi Jasindo takaful (2003), Asuransi Binagria (2003), Asuransi Bumida (2003), Asuransi Staci Jasa Pratama (2004), Asuransi Central Asia (2004), Asuransi Adira Syari’ah (2004), Asuransi BNI Jiwasraya Syari’ah (2004), Asuransi Sinar Mas (2004), Asuransi Tokio Marine Syari’ah (2004), dan Reindo Divisi Syari’ah (2004) yang hingga bulan Agustus 2005 merupakan satu-satunya perusahaan re-asuransi yang syari’ah.
Walapun secara kuantitas, perkembangan asuransi syari’ah di Indonesia relatif pesat, tetapi dalam kenyataannya asuransi syari’ah masih menghadapi beberapa kendala. Menurut Syakir Sula, Ketua Asosiasi Asuransi Syari’ah Indonesia, hal-hal yang menjadi kendala antara lain adalah, pertama, kurang sosialisasi. Media komunikasi yang digunakan cenderung tradisional, yaitu dengan cara presentasi, seminar, ceramah. Sementara sosialisasi melalui koran, televisi, dan radio masih sangat terbatas. Hal ini tetntu saja karena faktor pemodalan. Kedua, Keterbatasan Tenaga Ahli Asuransi Syari’ah yang profesional. Ketiga, Dukungan umat Islam yang masih rendah. Mereka belum menjadikan asuransi syari’ah sebagai kewajiban dalam praktik muamalat, sehingga motif finansial masih dominan menjadi pertimbangan dibandingkan dengan kebutuhan kesesuaian dengan ketentuan hukum Islam. Bahkan point ini merupakan tantangan utama yang berasal dari internal umat Islam sendiri. Keempat, Dukungan pemerintah belum optimal, terutama dalam hal kendala perundang-undangan yang hingga kini belum terakomodasi secara optimal.

5. Produk-Produk Asuransi Syariah di Indonesia
Produk asuransi syariah difahami sebagai suatu model jaminan (proteksi) yang dihasilkan oleh sebuah perusahaan asuransi syariah untuk ditawarkan kepada masyarakat luas agar ikut serta berperan sebagai anggota (peserta) dari sebuah perkumpulan pertanggungan yang secara materi mendapat keamanan bersama.
Sedang proses marketing yang terjadi pada perusahaan asuransi syariah, seharusnya tidak hanya bertumpu pada penjualan terhadap produk-produk yang dikeluarkan oleh perusahaan tetapi lebih berorientasi pada penawaran keikutsertaan untuk saling menanggung (takafuli) pada suatu peristiwa yang belum terjadi dalam jangka waktu tertentu. Sehingga uang yang disetor oleh nasabah asuransi syariah merupakan dana tabbaru yang sengaja diniatkan untuk melindungi dia dan nasabah lainnya dalam menghadapi peril (peristiwa asuransi).
Prinsip di atas sangatlah mendasar karena berkaitan dengan akad yang dipakai dalam asuransi syariah. Lain halnya dengan perusahaan asuransi konvensional, yang operasionalnya memakai prosedur akad jual-beli (tabadduli), yaitu dengan memposisikan calon nasabah asuransi sebagai pembeli produk yang dikeluarkan oleh perusahaan, bukan sebagai peserta yang mempunyai kewajiban untuk saling menanggung secara bersama.
Adapun produk asuransi syariah yang sering dipakai dalam operasional sebuah perusahaan asuransi syariah secara garis besar dapat dipilah menjadi dua, yaitu; (a) produk asuransi syariah dengan unsur saving dan (b) produk asuransi syariah non saving.
Produk asuransi syariah dengan unsur saving adalah sebuah produk asuransi yang didalamnya menggunakan dua buah rekening dalam setiap pembayaran premi, yaitu rekening untuk dana tabarru’ (sosial) dan rekening untuk dana saving (tabungan). Adapun status kepemilikan dana pada rekening saving masih menjadi milik peserta (anggota) bukan menjadi milik perusahaan asuransi, perusahaan hanya berfungsi sebagai lembaga.
Karena dana tersebut masih menjadi milik peserta asuransi, maka tatkala peserta asuransi berkeinginan untuk menarik dana itu, pihak perusahaan tidak ada dalih untuk menolaknya.
Rekening tabungan pada produk yang menggunakan unsur saving adalah kumpulan dana yang merupakan milik peserta dan dibayarkan bila; (a) perjanjian berakhir (b) peserta mengundurkan diri, dan (c) peserta meninggal dunia. Adapun rekening tabarru’ (khusus) adalah rekening yang berisi kumpulan dana yang diniatkan oleh peserta sebagai derma untuk tujuan saling membantu dan dibayarkan bila: (a) peserta meninggal dunia, dan (b) perjanjian berakhir, jika ada surplus dana.
Model pembagian di atas dijadikan acuan dalam pengelolaan dana pada PT Asuransi Takaful Keluarga (ATK). Secara spesifik produk pada PT Asuransi Takaful Keluarga dapat dipilah menjadi dua macam; (a) Produk takaful dengan unsur tabungan, yang terdiri dari: Takaful Dana Investasi (Fuldana), Takaful Dana Haji (Fulhaji), Takaful Dana Siswa (Fulsiswa). (b) Produk takaful tanpa unsur tabungan, yang terdiri dari: Takaful Kesehatan Individu, Takaful Kecelakaan Diri Individu, Takaful al-Khairat Individu, Takaful Wisata & Perjalanan, Takaful Majlis Ta’lim.
Sedangkan produk yang dikeluarkan oleh PT Asuransi Takaful Umum diantaranya adalah: Takaful Kebakaran, Takaful Kendaraan Bermotor, Takaful Rekayasa (meliputi: Takaful Risiko Pembangunan, Takaful Risiko Pemasangan, Takaful Mesin-Mesin, Takaful Peralatan Elektronik), Takaful Pengangkutan (meliputi: Takaful Pengangkutan Laut, Takaful Pengangkutan Udara, Takaful Pengangkutan Darat, Takaful Pengangkutan Uang), Takaful Rangka Kapal, Takaful Aneka (meliputi: Takaful Penyimpanan Uang, Takaful Kecelakaan Diri, Takaful Tanggung Gugat, Takaful Ketidakjujuran, Takaful Kebongkaran, Takaful Lampu Reklame). Di samping itu PT Asuransi Takaful Umum juga dapat memberikan produk asuransi Property All Risk Insurance, Oil and Gas Insuransce dan asuransi lainnya sesuai kebutuhan perseorangan dan atau perusahaan.



6. kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat kita ambil kesimpulan bahwa Ansuransi Syariah tujuan utamanya adalah tolong menolong, tetapi yang sangat kita sayangkan adalah belum adanya undang-undang yang secara rinci tentang Ansuransi Syariah, disinilah peran kita sebagai penerus bangsa untuk memperjuangkan sistim Syariah di Negri Indonesia ini, dan yang perlu kita ketahui adalah masih kurangnya minat masyarakat kita untuk ber Ansuransi Syariah, karena masih dominanya permainan konvensional yang seolah-olah menguasai indonesia. Dan yang sangat sayang sekali dan yang sagat kita kuatirkan adalah masih adanya beberapa kontrapesi dari orang-orang islam tentang penerapan sistim Syariah di indonesia ini.



DAFTAR PUSTAKA
Karim Adiwarman: Bank Islam Analisis Figih dan Keuangan. Jakarta: IIIT Indonesia
2003
Muslehuddin Muhammad Insurance and Islamic Law
Enciclopaedia Britanica
Ensiklopedi Hukum Islam

0 komentar:

Posting Lebih Baru Beranda